Selasa, 11 Desember 2012

Kurikulum dalam pembelajaran


BUKU : KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN
Dr. Oemar Hamalik.2008.Jakarta: Bumi AKsara
Kurikulum berasal dari bahasa latin curriculae, artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Pengertian lama kurikulum adalah jangka waktu pendidikan yang ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah.
Definisi-definisi
Kurikulum memuat isi dan materi pelajaran, Ialah sejumlah  mata pelajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh siswa untuk memperoleh sejumlah pengetahuan. Mata pelajaran (subject matter) dipandang sebagai pengelaman orang tua atau orang2 pandai masa lampau yang telah disusun secara sistematis dan logis. (p.16)
Kurikulum sebagai rencana pembelajaran, adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa. (p.17)
Kurikulum sebagai pengalaman belajar. Kurikulum merupakan serangkaian pengelaman belajar (p.17)
Landasan pengembangan kurikulum (p.19-23)
1.      Tujuan filsafat dan pendidikan nasional yang dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan institusional yang pada glirannya menjadi landasan dalam merumuskan kurikulum suatu satuan pendidikan. Filsafat pendidikan ini mengandung nilai-nilai atau cita-cita masyarakat.
2.      Social budaya dan agama yang berlaku di masyarakat
3.      Perkembangan pserta didik, yang menunjuk pada karakteristik perkembangan peserta didik.
4.      Keadaan lingkungan, yang dalam arti luas meliputi lingkungan manusiawi (interpersonal), lingkungan kebudayaan termasuk iptek (cultural), dan lingkungan hidup (bioekologi) serta lingkungan alam (geoekologis)
5.      Kebutuhan pembangunan  yang mencakup kebutuhan pembangunan di bidang ekonomi, kesejahtraan rakyat, hokum, hankam, dan sebagainya. Tujan pokok pembangunan adalah untuk menumbuhkan sikap dan tekad kemandirian, manusia dan masyarakat, Indonesaia dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin yang lebih selaras, adil, dan merata.
6.      Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan system nilai dan kemanusiawian serta budaya bangsa.

Komponen-komponen kurikulum (p.24-30)
1.      Tujuan, tujan kurikulum tiap satuan pendidikan haurs mengacu pada tujaun pendidikan nasional. Kurikulum menyediakan kesempatan peserta didik untuk mengalami proses pendidikan dan pembelajaran untuk mencapai target tujaun pendidikan nasional khususnya dan SDM berkualitas umumnya. Tujuan ini dikatgorikan tujan umum kurikulum.
Setiap mata pelajaran mempunyai Tujuan sendiri dan berbeda dengan yang lain. Tujuan mata pelajaran merupan penjabaran dari tujuan kurikulum dalam rangka mencapai tujaun pendidikan nasional 
2.      Materi kurikulum, hakikatnya adalah isi kurikulum. Disebutkan dalam UU SPN, isi kurikulum merupakan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujaun penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujan pendiidikan nasional.
3.      Mtode, adalah carayang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.penyususnannya harus mengacu  pada analisis tugas yang mangacu pada tujaun kurikulum dan berdasarkan perilaku awal siswa.
Tiga alternative pendidikan yang dapat digunaka:
a.      Pendekatan yang berpusat pada mata pelajaran, materi bersumber dar mata pelajaran
b.      Pendekatan berpusat pada siswa, pembelajarna dilaksanakan berdasarkan kebutuhan minat dan kemampuan siswa.
c.       Pendekkata yang berorientasi pada kehidupan masyarakat. Bertujuan mengintegrasikan sekolah dan masyarakat dan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat.
4.      Organisasi kurikulum, terdidir dari mata pelajaran terpisah, mata pelajaran berkorelasi, bidang studi/pengajaran, program yang berpusat pada anak, core program, dan eclectic program.
5.      Evaluasi, dengan evaluasi dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhaslan belajar siswa.

Prinsip pengembangan kurikulum
1.      Berorientasi pada tujuan
Pengembangan kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang bertitik tolak dari tujuan pendidikan nasional.
2.      Prinsip relevansi (kesesuaian)
Pengembangan kurikulum harus relevan dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa, serta dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
3.      Prinsip efisiensi dan efektivitas
Peng kur, harus mempertimbngkansegi efisien dala pendayaguaan dana, waktu, tenaga, dan sumber yang tersedia agar dapat mencapai hasil yang optimal.
4.      Prinsip feksibilits (keluwesan)
Kurikulum yang fleksibel mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi atau dikurangi berdasarkan tuntutan dan keadaan ekosistem dan kemampuan setempat, bersifatdinamis dan tidak kaku.
5.      Prinsip berkesinambungan
Kurikulum idsusun secara berkesinambungan artinya bagian-bagian, aspek-aspek, materi dan bahan kajian disusun secara berurutan, tidak terlepas-lepas, melainkan satu sama lain memiliki hubvungan fungsional yang bermakna, sesuai dengan jenjang pendidikan, struktur, dalam satuan pendidikan tingkat perkembangan siswa .
6.      Prinsip keseimbanagn
Perlu memperhatikan keseimbangan secaraproporsional dan fingsioanal anatara berbagai program dan sub-program antara semua mata pelajaran, dan antara aspek-aspek perilaku yang ingin dikembangakan.
7.      Prinsip keterpaduan
Perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topic dan konsistensi anatara unsure-unsurnya.
8.      Prinsip mutu
Peng, kur berorientasi pada pendidikan mutu dan mutu pendidikan,. Pendidikan mutu berabrti pelaksanaan pembelajaran ysang bermutu, sedangkan mutu pedidikan berorientasi apda hasil pendidikan yang berkualita. 

Komparasi pendidikan Indonesia-Belanda


PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Komparasi dapat diartikan membandingkan sesuatu hal. Dalam kajian pendidikan komparatif, dibahas mengenai perbandingan praktek dan pelaksanaan pendidikan di berbagai negara. Hal ini menjadi penting mengingat bahwa kebutuhan akan pengetahuan mengenai pendidikan di negara lain sangat dibutuhkan. Selain menjadi pembanding untuk negeri sendiri, juga sebagai acuan pengembangan pendidikan. Carter V. Good (dalam Rohman, 2003:3) menekankan tujuan pendidikan komparatif yaitu memperluas wawasan dan pengetahuan tentang keadaan pendidikan di luar negaranya sendiri. Makalah ini membatasi perbandingan hanya pada jenjang pendidikan antara Indonesia dan Belanda. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 menyebutkan bahwa jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. Pembahasan mengenai hal ini akan memberi pemahaman mengenai tahapan pendidikan di negara tertentu. Selain itu, diharapkan dapat memberi pemahaman ke arah hasil dari proses tersebut.   
Perbandingan jenjang pendidikan tidak hanya mendasar pada rentang dan jangka tercapainya suatu pendidikan. Namun, dapat dikaji lebih mendalam sebagai sebuah gambaran rancangan program dan pelaksanaan pendidikan di suatu negara termasuk mengetahui sejak kapan dan bagaimana penjurusan studi dilaksanakan. Mengingat Indonesia adalah bekas jajahan Belanda, pendidikan di Indonesia awalnya cukup banyak mengacu pada pendidikan Belanda, akan tetapi seiring berjalannya waktu, perubahan semakin nampak terlihat. Perbedaan paling mendasar adalah model pelaksanaan sistem penjurusan. Hal tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi hasil pendidikan yang akan dicapai secara umum. Oleh karena itu, pembahasan mengenai jenjang pendidikan dapat menambah wawasan mengenai salah satu komponen sistem pendidikan antar negara, khususnya Indonesia dan Belanda.

B.       Batasan Masalah
1.         Bagaimana sistem jenjang pendidikan di Belanda?
2.         Bagaimana sistem jenjang pendidikan di Belanda?
3.         Bagaimana perbandingan jenjang pendidikan antara Belanda dan Indonesia?

C.      Tujuan
1.    Mengetahui serta menambah wawasan mengenai jenjang pendidikan di Belanda dan Indonesia.
2.    Dapat memahami perbandingan jenjang pendidikan di Belanda maupun di Indonesia.
     



















PEMBAHASAN

A.      Jenjang Pendidikan di Belanda
Belanda menempati urutan pertama dalam hal akses dan peringkat ketiga dari segi keterjangkauan pendidikan karena biaya pendidikan di Belanda lebih murah daripada negara besar lainnya. Mutu pendidikan dalam negeri  diawasi langsung oleh pemerintah dengan menerapkan usia wajib belajar yaitu 5 - 18 tahun.
Selama usia wajib belajar biaya digratiskan, namun sekolah dapat meminta sumbangan orang tua untuk biaya tambahan kegiatan sekolah.
Di usia 4-12 tahun, anak dilatih emosi, intelegensi, dan kemampuan bersosialisasinya agar berkembang normal dengan karakter yang kuat. Tahapan selanjutnya yaitu tingkat menengah, remaja berusia 12 tahun diberikan opsi untuk memilih bidang yang diminati untuk mencapai cita-cita. Sistem penjurusan di Belanda mengacu sesuai kemampuan (ability) dan telah ditentukan sejak lulus elementary school, setelah itu mereka dapat mengikuti ujian yang nantinya akan dibagi menjadi tiga level, yaitu VMBO, HAVO, dan WO yang punya standar sendiri-sendiri.
sistem pendidikan













1.        Penjurusan di Sekolah Menengah
a.      VMBO (voorbereidend middelbaar beroepsonderwijs)
Pada usia 12-16 tahun, siswa yang mempunyai kemampuan akademis yang rendah maka sejak awal mereka diarahkan untuk mengikuti VMBO selama 3 tahun dan MBO selama satu tahun. Setelah lulus dari MBO  siswa dapat langsung bekarja.
Jenjang ini menggabungkan pendidikan umum dan vokasi, dilanjutkan dengan pendidikan vokasi sekunder, MBO (middelbaar beroepsonderwijs) atau sekolah kejuruan menengah.

b.      HAVO (hoger algemeen voortgezet onderwijs) atau “sekolah lanjutan atas umum”
HAVO merupakan sekolah lanjutan persiapan kuliah di bidang ilmu terapan selama 5 tahun. Setelah lulus dari HAVO, maka dia dapat mengikuti HBO, di Indonesia mungkin setara dengan sekolah tinggi. Diperuntukkan bagi siswa yang mempunyai kemampuan akademis yang cukup lebih baik.

c.       VWO  (voorbereidend wetenschappelijk onderwijs) atau “sekolah persiapan sains”.
Siswa yang mempunyai kemampuan akademis tertinggi, berhak mengikuti VWO selama 6 tahun dan kemudian dapat melanjutkan ke WO (Universitas), layaknya sistem pendidikan di Indonesia
Jika siswa dari tingkatan yang lebih rendah ingin mengikuti sistem pendidikan yang lebih tinggi mereka dapat mengikuti program standarisasi


Dalam 2-3 tahun terakhir pendidikan menengah, mereka mempelajari secara rinci bidang yang dituju di universitas. Kurikulumnya disesuaikan dengan bidang yang dipilih, berdasarkan minat dan bakat. Dengan penjurusan ini, pelajar lebih fokus dalam menjalani studinya. Bidang-bidangnya antara lain:
a.     Science and technology (ilmu teknologi/fisika)
b.    Science and health (ilmu kesehatan)
c.     Economic and society (sosial ekonomi)
d.    Culture and society (sosial dan budaya)

2.        Pendidikan Tinggi
a.      HBO (Hoger beroepsonderwijs)
HBO (Hoger beroepsonderwijs) yang biasanya disebut Hoegeschool (sekolah tinggi) ini juga sering diterjemahkan menjadi university of applied science, di Indonesia HBO ini disetarakan dengan politeknik, yang nanti lulusannya dapat langsung menerapkan ilmunya karena dibekali pengetahuan praktis.
Beberapa jurusan yang ada di HBO misalnya jurusan keperawatan, staf pendidik, turisme, teknik elektro, manajemen, atau marketing. Lama pendidikan di HBO selama empat tahun, tapi jika akan melanjutkan kuliah master juga ada dan bisa ditempuh sekitar 1-2 tahun.

b.      WO (wetenschappelijk onderwijs)
WO (wetenschappelijk onderwijs) atau biasanya disebut universiteit (universitas) atau Technische Universiteit (universitas teknik) dalam bahasa Inggris biasanya disebut university atau University of technology. Beberapa jurusan dalam WO misalnya jurusan seni, pendidikan, teknik, sains, dan lain-lain

B.       Jenjang Pendidikan Indonesia
Dasar dan tujuan pendidikan telah dirumuskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dasar pendidikan nasional adalah  Pancasila serta kepercayaan dan kepatuhan kepada Tuhan. Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang  demokratis serta bertanggung jawab (Guza, 2008: 243).
Unsur-unsur yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional, diantaranya : beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, berilmu pengetahuan, berketrampilan, berakhlak mulia, bertanggungjawab dan berkeupayaan mencapai kesejahteraan diri serta memberi sumbangan terhadap keharmonisan dan kemakmuran masyarakat dan negara (Guza, 2008: 243).
Menurut Guza (2008: 251-258) struktur pendidikan antara lain:
1)   Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non-formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Sistem pendidikan terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.
2)   Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
3)   Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Kesemuanya dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.

Masing-masing dijelaskan sebagai berikut:
1)      Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pada PAUD ini dapat diselenggarakan melalui jalur formal, non formal dan/atau informal. PAUD pada jalur formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. PAUD pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

2)      Pendidikan Dasar
Pendidikan Dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidayah (MI) atau bentuk yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Pada akhir kelas enam siswa harus mengikuti Ujian Nasional sebagai salah satu syarat untuk masuk SMP/MTs.

3)      Pendidikan Menengah
Pendidikan menegah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

4)      Pendidikan Tinggi
Pendidikan Tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

C.      Komparasi Jenjang Pendidikan Indonesia dan Belanda
          Pada dasarnya antara pendidikan Indonesia dan Belanda tidak memiliki perbedaan yang cukup jauh dari segi jenjang pendidikannya, yaitu dimulai dengan pendidikan untuk anak usia dini hingga pendidikan tinggi. Hal ini boleh jadi disebabkan karena pada awalnya Indonesia merupakan salah satu negara bekas jajahan Belanda. Jadi, wajar saja jika dari  beberapa aspek, Belanda masih meninggalkan jejak-jejak penjajahannya termasuk dalam ranah pendidikan.
          Untuk Indonesia sendiri, pendidikan yang dimulai dari masa kanak-kanak kemudian dilanjutkan dengan sekolah dasar kemudian sekolah pendidikannya, belanda menempati posisi yang lebih unggul dibandingkan dengan Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari kualitas output yang dihasilkan. Salah satu contoh kecil misalnya orang-orang yang pernah studi di Belanda ternyata memiliki kinerja yang lebih bagus dimanapun ia berada jika dibandingkan dengan yang bukan. Hal ini dikarenakan Belanda memiliki University of Applied Sciences atau Hogeschool. Di samping itu, Belanda mencatatkan dirinya ke dalam sepuluh besar “the world’s best countries” di bidang pendidikan menurut Newsweek.
          Melihat dari jenjang pendidikan yang di Belanda, di sana menerapkan sistem jenjang yang disesuaikan dengan kemampuan anak. Pada  awalnya sama dengan di Indonesia, saat masih berumur 2-4 tahun anak dimasukkan ke sekolah persiapan atau dengan istilah lain Kindergarten dengan kata lain di Indonesia adalah TK atau PAUD. Di situlah anak dipersiapkan untuk benar-benar mampu masuk dalam tahap selanjutnya, yaitu Elementary School atau SD. Yang menjadi perbedaan adalah umur yang menjadi patokan jika di Belanda anak yang berumur 4 tahun sudah mulai masuk ke Elementary School atau SD dengan, maka di Indonesia sendiri anak bisa masuk ke SD dengan umur 6-7 tahun.
          Di Belanda, anak yang bersekolah di Elementary School atau SD benar-benar dipersiapkan selama 8 tahun untuk bisa menentukan masa depan mereka. Karena di sana setelah anak lulus dari Elementary School atau SD mereka dituntut untuk bisa menentukan mau kemana di ssetelah ini. Penentuan tersebut dilihat dari kemampuan akademik anak selama mengikuti pendidikan dasar, dapat dilihat di penjelasan sebelumnya. Tingkatannya adalah anak yang memiliki kemampuan akademik rendah, tinggi, dan tertinggi. Maka, lanjutan pendidikan yang dilaluinya pun akan berbeda sesuai dengan kemampuan anak masing- masing. Jadi, setelah anak menentukan bidang yang dia minati, mnaka seterusnya ia akan fokus pad abidang tersebut Berbeda halnya dengan di Indonesia, anak selama 6 tahun dididik di Sekolah Dasar selama 6 tahun kemudian mulai masuk pada pendidikan menengah pertama selama 3 tahun. Setelah itu barulah anak mesuk ke pendidikan menengah atas, dan di tahun kedua anak baru di berikan pilihan untuk menentukan jurusannya.
          Perbandingan yang lainnya juga bisa dilihat dari biaya pendidikan. Di Belanda pendidikan diberikan dengan harga yang relatif rendah bahkan gratis, karena pemerintah Belanda sendiri sudah menyiapkan anggaran khusus untuk pendidikan. Sedangkan di Indonesia sendiri, pemerintah pun sebenarnya sudah menyiapkan anggaran untuk pendidikan, akan tetapi ternyata belum mampu menutupi kebutuhan. Terkadang biaya pendidikan yang ada di beberapa instansi pendidikan cenderung mahal untuk beberapa kalangan. Walaupun sebenarnya pemerintah pun sudah melakukan berbagai macam program salah satunya dengan BOS (Bantuan Operasional Sekolah).


KESIMPULAN
          Pada dasarnya, pendidikan yang ada di setiap negara mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, maka dengan adanya komparasi terhadap pendidikan bisa diketahui tentang kelebihan dan kekurangan sebuah sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang dirancang dalam sebuah negara tentunya menyesuaikan dengan keadaan yang ada di dalam negaranya masing-masing.
          Perbandingan yang ada dalam sebuah sistem pendidikan dapat terlihat dari berbagai sisi, salah satunya dari sisi jenjang pendidikan. Hal ini  juga yang menjadi sebuah pembeda output yang dihasilkan oleh setiap pelaksana kegiatan pendidikan.
          Melihat dari perbandingan jenjang pendidikan di Indonesia dan Belanda, ada banyak hal yang perlu dibenahi dalam pendidikan di Indonesia. Melalui pendidikan komparasi inilah bisa diketahui kekurangan-kekurangan yang ada dalam sebuah sistem pendidikan. Sehingga, bisa dilakukan berbagai macam perbaikan untuk bisa membenahi sistem pendidikan yang ada.   










DAFTAR PUSTAKA

Guza, Afnil. (2008). Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Asa Mandiri
Rohman, Arif.(2003).Pendidikan Komparatif.Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta  
Usmanto.(2011).Analisis Kurikulum Belanda. Diunduh dari http://usmantospdimpd.blogspot.com/2011/04/analisis-kurikulum-di-belanda-dan.html. Pada tanggal 3 November 2011 pukul 18.15

Pedoman Umum Pendidikan Inklusif


BAB I
PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang


Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (reguler) dalam pendidikan.
Selama ini, layanan pendidiakn bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui tiga macam lemabaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama sehingga ada SLB untuk anak dengan hambatan penglihatan (Tunanetra), SLB untuk anak dengan hambatan pendengaran (Tunarungu), SLB untuk anak dengan hambatan berpikir/kecerdasan (Tunagrahita), SLB untuk anak dengan hambatan (fisik dan motorik (Tunadaksa), SLB untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku (Tunalaras), dan SLB untuk anak dengan hambatan majemuk (Tunaganda). Sedangkan SLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra), itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah reguler yang keberatan menerima anak berkebutuhan khusus.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota Kabupaten, padahal anak–anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (kecamatan/desa), tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian dari mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, sekolah tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di sekolah terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan diatas dapat berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah reguler (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun yang belum mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelaianan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan peraturan pemerintah tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.                     
Pendidikan inklusif, mendidik anak berkebutuhan khusus bersama– sama anak lainnya (reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak reguler dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak reguler untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu disiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.

B.A.      Tujuan Penulisan Buku

Setelah membaca buku Pedoman Umum Pendidikan Inklusif ini, diharapkan pembaca (terutama para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan) memiliki persepsi yang komprehensif terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif, yang pada gilirannya dapat dipergunakan pedoman umum dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia.




BAB  II
PENDIDIKAN  INKLUSIF

A.   Konsep Pendidikan Inklusif
1.    Pengertian
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback,1980)
Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana parasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik. Untuk itu proses identifikasi dan asesmen yang akurat perlu dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan/atau profesional di bidangnya untuk dapat menyusun program pendidikan yang sesuai dan obyektif.

2.   Pendidikan Segregasi, Pendidikan Terpadu dan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif hanya merupakan salah satu model penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Model yang lain diantaranya adalah sekolah segregasi dan pendidikan terpadu. Perbedaan ketiga model tersebut dapat diringkas sebagai berikut.

a.    Sekolah segregasi
Sekolah segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas. 

b.    Sekolah terpadu
Sekolah terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dipersyaratkan sekolah reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul di lingkungan sosial yang luas dan wajar.  

c.    Sekolah inklusif
Sekolah inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.

3.        Implikasi manajerial pendidikan inklusif
Sekolah umum/reguler yang menerapkan program pendidikan inklusif akan berimplikasi secara manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya adalah:
a.    Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
b.    Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual.
c.    Guru di kelas umum/reguler harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
d.    Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
e.    Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses pendidikan.

4.        Pro dan kontra pendidikan inklusif
Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai salah satu uapaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi setiap anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami kemajuan yang berbeda-beda di setiap negara.  Sebagai inovasi baru, pro dan kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon secara proaktif terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.

a.    Pro Pendidikan Inklusif
(1)   Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
(2)   Beaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah regular.
(3)   Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau  biaya yang tidak terjangkau.
(4)   SLB (terutama yang berasrama) merupakan sekolah yang memisahkan anak dari kehidupan sosial yang nyata. Sedangkan sekolah inklusif lebih ‘menyatukan’ anak dengan kehidupan nyata.
(5)   Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan layanan yang sesuai.
(6)   Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi anak ‘cacat’ yang dapat menimbulkan stigma sepanjang hayat. Orangtua tidak mau ke SLB.
(7)   Melalui pendidikan inklusif akan terjadi proses edukasi kepada masyarakat agar menghargai adanya perbedaan.

b.     Kontra Pendidikan Inklusif
(1)  Peraturan perundangan memberikan kesempatan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus.
(2)  Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
(3)  Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di sekolah reguler.
(4)  Banyak sekolah reguler yang belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena menyangkut sumberdaya yang terbatas.
(5)  Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena diikuti anak yang sejenis.

c.    Pendidikan Inklusif yang Moderat
Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan inklusif, maka dapat diterapkan pendidikan inklusif yang moderat.  Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud adalah: 
(1)   Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan Inklusi penuh.
(2)   Model moderat dikenal dengan model ‘Meanstreaming’.
(3)   Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam prakteknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus fleksibel pindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti :
-        bentuk kelas reguler penuh
-        bentuk kelas reguler dengan cluster
-        bentuk kelas reguler dengan ’pull out’
-        bentuk kelas reguler dengan ‘cluster dan pull out’
-        bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian.
-        bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler

B.      Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan   deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai.
Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.
Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.

C.   Tujuan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan:
1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.
2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar
3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran
5. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.


D.   Landasan Pendidikan Inklusif
1.    Landasan Filosofis
Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.    Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka tunggal ika’. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
b.    Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (‘inklusif’).
c.    Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan.

2.    Landasan Yuridis
a.    UUD 1945 (Amandemen) Ps. 31: (1) berbunyi ‘Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) ’Setiaap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’.
b.    UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps. 48 ‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Ps. 49 ’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan’.
c.    UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ps. 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2): Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus’. Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi’. ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun’. Pasal  12 ayat (1) ‘Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (1.b). Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara (1.e). Pasal 32 ayat (1)  ‘Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti  proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.’ Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa ‘Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah’. Pasal 45 ayat (1) ‘Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik’.
d.    Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan meliputi Standar isi, Standar proses, Standar kompetensi lulusan, Standar pendidik dan kependidikan, Standar sarana prasarana, Standar pengelolaan, Standar pembiayaan, dan Standar penilaian pendidikan. Dalam PP No. 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas: SDLB, SMPLB dan SMALB.
e.    Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari: SD, SMP, SMA, dan SMK.

3.    Landasan Empiris
a.    Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Rights),
b.    Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of the Child),
c.    Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990 (World Conference on Education for All),
d.    Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunities for persons with disabilities)
e.    Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994 (The Salamanca Statement on Inclusive Education),
f.     Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000 (The Dakar Commitment on Education for All), dan
g.    Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif”,
h.    Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai:
(1)  Sebuah pendekatan terhadap peningkatankualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua;
(2)  Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
(3)  Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.
Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya:
(1)  Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari semua kebijakan nasional
(2)  Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya
(3)  Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas
(4)  Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka
(5)  Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama menuju inklusi
(6)  Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta
(7)  Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak
(8)  Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus mencakup semua anak usia sekolah
(9)  Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10)  Pemerintah (pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif






BAB III

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF


A.   Peserta Didik

1.  Sasaran
Sasaran pendidikan inklusif secara umum adalah semua peserta didik yang ada di sekolah reguler. Tidak hanya mereka yang sering disebut sebagai anak berkebutuhan khusus, tetapi juga mereka yang termasuk anak ‘normal’. Mereka secara keseluruhan harus memahami dan menerima keanekaragaman dan perbedaan individual.  Secara khusus, sasaran pendidikan inklusif adalah anak berkebutuhan khusus, baik yang sudah terdaftar di sekolah reguler, maupun yang belum dan berada di lingkungan sekolah reguler. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi secara khusus agar dapat diberikan program yang sesuai.

2.  Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
a. Identifikasi
§ Hakekat
Istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan assesment dimaknai sebagai penyaringan. Identifikasi anak dimaksudkan sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social, emosional/tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inklusi.





§ Tujuan
Identifikasi anak berkebutuhan khusus dilakukan untuk lima keperluan,yaitu:
(1)     Penjaringan (screning),
(2)     Pengalihtanganan (referal),
(3)     Klasifikasi,
(4)     Perencanaan pembelajaran, dan
(5)     Pemantauan kemajuan belajar.

b.  Asesmen
Pengertian
Asesmen merupakan proses pengumpulan informasi sebelum disusun program pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Asesmen ini dimaksudkan untuk memahami keunggulan dan hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang disusun benar-benar sesuai dengan kebutuhan belajarnya.

Fungsi
Fungsi screening/penyaringan, pada tahap ini asesmen dilakukan untuk keperluan screening/penyaringan. Screening ini dilakukan untuk mengidentifikasi siswa yang mungkin mempunyai problem belajar.
Fungsi pengalihtanganan/referal, adalah sebagai alat untuk pengalihtanganan kasus dari kasus pendidikan menjadi kasus kesehatan, kejiwaan ataupun kasus sosial ekonomi. Ada bagian yang tidak mungkin ditangani oleh guru sendiri, sehingga memerlukan keterlibatan profesional lain.
Fungsi perencanaan pembelajaran individual (PPI), dengan berbekal data yang diperoleh dalam kegiatan asesmen, maka akan tergambar berbagai potensi maupun hambatan yang dialami anak. Misalnya keterbelakangan mental, gangguan motorik, persepsi, memori, komunikasi, adaptasi sosial.
Fungsi monitoring kemajuan belajar, adalah untuk memonitor kemajuan belajar yang dicapai siswa.
Fungsi evaluasi program, adalah untuk mengevaluasi program pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Sasaran
(1)     Anak berkebutuhan khusus yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
(2)     Anak berkebutuhan khusus yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
(3)     Anak berkebutuhan khusus yang belum/tidak bersekolah
(4)     Anak berkebutuhan khusus yang akan mengikuti program pendidikan non formal atau informal.

B.   Kurikulum

1.    Jenis Kurikulum
Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Modifikasi (penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.


2.    Tujuan Pengembangan Kurikulum
                 a.      Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan mengatasi hambatan belajar yang dialami siswa semaksimal mungkin dalam setting inklusi.
                 b.      Membantu guru dan orangtua dalam mengembangkan program pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik yang diselenggarakan di sekolah, di luar sekolah maupun di rumah.
                  c.      Menjadi pedoman bagi sekolah, dan masyarakat dalam mengembangkan, menilai dan menyempurnakan program pendidikan inklusif.

3.  Model Pengembangan Kurikulum

a.    Model kurikulum reguler
Pada model kurikulum ini peserta didik yang berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama. Program layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi dan ketekunan belajarnya.  
b.    Model kurikulum reguler dengan modifikasi
Pada model kurikulum ini guru melakukan modifikasi pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan siswa (anak berkebutuhan khusus). Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki program pembelajaran berdasarkan kurikulum reguler dan program pembelajaran individual (PPI). Misal seorang siswa berkebutuhan khusus yang mengikuti 3 mata pelajaran berdasarkan kurikulum reguler sedangkan mata pelajaran lainnya berdasarkan PPI.
c.    Model kurikulum PPI
Pada model kurikulum ini guru mempersiapkan program pendidikan individual (PPI) yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.
Model ini diperuntukan pada siswa yang mempunyai hambatan belajar yang tidak memungkinkan untuk mengikuti proses belajar berdasarkan kurikulum reguler. Siswa berkebutuhan khusus seperti ini dapat dikembangkan potensi belajarnya dengan menggunakan PPI dalam setiing kelas reguler, sehingga mereka bisa mengikuti proses belajar sesuai dengan fase perkembangan dan kebutuhannya.
Penjelasan dan model PPI  secara lebih lengkap dapat dilihat pada Buku Pedoman Pengembangan PPI.

C.  Tenaga Pendidik

1.    Pengertian
Tenaga pendidik adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, meninlai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusif. Tenaga pendidik meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan guru pendidikan khusus (GPK).

2.    Tugas
a.  Tugas Guru Kelas antara lain sebagai berikut:
(1)  Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
(2)  Menyusun dan  melaksanakan asesmen pada semua anak untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya
(3)  Menyusun  program pembelajaran individual (PPI) bersama-sama dengan guru pendidikan khusus (GPK).
(4)  Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar  dan mengadakan penilaian untuk semua mata pelajaran (kecuali Pendidikan Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan ) yang menjadi tanggung jawabnya.
(5)  Memberikan program remedi pengajaran  (remedial teaching), pengayaan/percepatan bagi peserta didik yang membutuhkan.
(6)  Melaksanakan administrasi kelas sesuai dengan bidang  tugasnya.

b.  Tugas guru mata pelajaran antara lain sebagai berikut:
(1)  Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
(2)  Menyusun dan  melaksanakan asesmen pada semua anak untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya
(3)  Menyusun  program pembelajaran individual (PPI) bersama-sama dengan guru pembimbing khusus (GPK).
(4)  Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar  dan mengadakan penilaian kegiatan belajar mengajar untuk mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.
(5)  Memberikan program Perbaikan (remedial teaching), pengayaan/percepatan  bagi peserta didik yang membutuhkan.

c.  Tugas Guru Pendidikan  Khusus antara lain sebagai berikut
(1)  Menyusun instrumen asesmen pendidikan bersama-sama dengan guru kelas dan guru mata pelajaran
(2)  Membangun system koordinasi antara guru, pihak sekolah dan orang tua peserta didik.
(3)  Melaksanakan pendampingan anak berkebutuhan khusus pada kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan guru kelas/guru mata pelajaran/guru bidang studi.
(4)  Memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas umum, berupa remidi ataupun pengayaan.
(5)  Memberikan bimbingan secara berkesinambungan dan membuat catatan khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus selama mengikuti kegiatan pembelajaran, yang dapat dipahami jika terjadi pergantian guru.
(6)  Memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru kelas dan/atau guru mata pelajaran agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus.

3.    Kedudukan
Guru berkedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan pada usia dini pada jalur pendidikan formal yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Kedudukan untuk masing-masing guru secara rinci meliputi:
                 a.      Guru Kelas berkedudukan di sekolah dasar yang di tetapkan berdasarkan kualifikasi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh sekolah.
                 b.      Guru mata pelajaran/bidang studi adalah guru yang mengajar mata pelajaran tertetu sesuai kualifikasi yang dipersyaratkan di sekolah.
                  c.      Guru Pendidikan Khusus berkedudukan sebagai guru pendamping khusus. Secara administrasi status kepegawaian, ada beberapa alternatif yang memungkinkan.

D. Kegiatan Pembelajaran

  1. Perencanaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan pembelajaran pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.
                    a.    Merencanakan pengelolaan kelas
                    b.    Merencanakan pengorganisasian bahan
                    c.    Merencanakan strategi pendekatan kegiatan belajar mengajar
                    d.    Merencanakan prosedur kegiatan belajar mengajar
                    e.    Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar
                     f.    Merencanakan penilaian
  1. Pelaksanaan
                 a.        Melaksanakan apersepsi
                 b.        Menyajikan materi/bahan pelajaran
                  c.        Mengimplementasikan metode, sumber/media belajar, dan bahan latihan yang sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa, serta sesuai dengan tujuan pembelajaran
                 d.        Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif
                 e.        Mendemontrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansinya dalam kehidupan
                   f.        Membina hubungan antar pribadi, antara lain: (1) Bersikap terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa; (2) Menampilkan kegairahan dan kesungguhan; (3) Mengelola interaksi antar pribadi.

2.    Prinsip-Prinsip Pembelajaran
a.  Prinsip motivasi
Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.
b.  Prinsip latar/konteks
Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh,   memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.
c.    Prinsip  keterarahan
Setiap akan melakukan  kegiatan  pembalajaran, guru harus merumuskan tujuan  secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai, serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat
d.    Prinsip hubungan sosial
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
e.  Prinsip belajar sambil bekerja
Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, atau menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian, dan sebagainya.
f.  Prinsip individulisasi
Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari seagi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
g.  Prinsip menemukan
Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk terlibat seacara aktif, baik fisik, mental, sosial, dan atau emosional.
h.  Prinsip pemecahan masalah
Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar, dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya seasuai dengan kemampuannnya.

E. Penilaian dan Sertifikasi

1.    Penilaian
Penilaian dalam setting inklusif ini mengacu pada model pengembangan kurikulum yang dipergunakan, yaitu:
a.    Apabila menggunakan model kurikulum  reguler penuh, maka penilaiannya menggunakan sistem penilaian yang berlaku pada sekolah reguler.
b.    Jika menggunakan model kurikulum reguler dengan modifikasi, maka penilaiannya menggunakan sistem penilaian reguler yang telah dimodifikasi sekolah disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa.
c.    Apabila menggunakan kurikulum PPI, maka penilaiannya bersifat individu dan didasarkan pada kemampuan dasar (base line).


2.    Sistem Kenaikan Kelas dan Laporan Hasil Belajar
a.    Sistem Kenaikan kelas
(1)     Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler penuh, sistem kenaikan kelasnya menggunakan acuan yang berlaku pada sekolah reguler penuh yang sedang berlaku.
(2)     Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler yang dimodifikasi, maka sistem kenaikan kelasnya dapat menggunakan alternatif berikut: (1) menggunakan model kenaikan kelas yang didasarkan pada usia kronologis; (2) menggunakan sistem kenaikan kelas reguler.
(3)     Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum PPI, sistem kenaikannya didasarkan pada usia kronologis.
b.    Sistem Laporan Hasil Belajar
(1)     Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler penuh, maka model laporan hasil belajarnya (raport) menggunakan model raport reguler yang sedang berlaku.
(2)     Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler yang dimodifikasi, model raport yang dipergunakan adalah raport reguler yang dilengkapi dengan diskripsi (narasi) yang menggambarkan kualitas kemajuan belajarnya.
(3)     Bagi siswa yang menggunakan kurikulum PPI, maka menggunakan model raport kuantitatif yang dilengkapi dengan diskripsi (narasi). Penentuan nilai kuantitatif didasarkan pada kemampuan dasar (base line anak).
3.    Sertifikasi
Sertifikasi adalah suatu bentuk penghargaan yang berupa surat keterangan yang diberikan kepada siswa yang telah berhasil mencapai prestasi dalam bidang akademik maupun non akademik. Sertifikasi bidang akademik adalah suatu bentuk penghargaan yang diberikan kepada siswa yang telah berhasil mencapai kompetensi pembelajaran pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan standar penilaian yang berlaku. Sedangkan sertifikasi non akademik adalah suatu bentuk penghargaan yang diberikan kepada siswa yang telah mampu mencapai prestasi tertentu, seperti bidang, seni, budaya, olah raga, mekanik, otomotif, dan jenis keterampilan lainnya.

F.  Sarana dan Prasarana Pendidikan

Sarana dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun perangkat lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu.
Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi asesibilitas bagi kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan khusus, serta media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.

G. Manajemen Sekolah
  1. Konsep Manajemen
      Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda. Pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi) kedua melihat manajemen lebih luas daripada administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen) dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
      Dalam buku ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.

  1. Fungsi
Fungsi manajemen pendidikan inklusif meliputi:
                 a.      Perencanaan (Planning)
                 b.      Pengorganisasian (organizing)
                  c.      Pengarahan (directing)
                 d.      Pengkoordinasian (coordinating)
                 e.      Pengawasan (controlling), dan
                   f.      Penilaian (evaluation)

3.  Ruang Lingkup
Manajemen sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, memberikan kewenangan penuh kepada pihak sekolah untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi komponen-komponen pendidikan inklusif yang bersangkutan.
Komponen- komponen tersebut meliputi:
                 a.      Manajemen kesiswaan
                 b.      Manajemen  kurikulum
                  c.      Manajemen pembelajaran
                 d.      Manajemen penilaian
                 e.      Manajemen ketenagaan
                   f.      Manajemen sarana-prasarana
                 g.      Manajemen pembiayaan
                 h.      Manajemen sumberdaya lingkungan

4.  Penghargaan dan sanksi
a.       Penghargaan
              Kepada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang berprestasi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif diberikan penghargaan. Penghargaan dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan mutu layanan pendidikan. Penghargaan dapat berupa simbul, seperti sertifikat, piagam, dan dapat pula dalam bentuk lain, seperti promosi, dana pembinaan, pelatihan, maupun dalam bentuk lain yang relevan.
b.       Sanksi
Kepada satuan pendidikan tertentu yang telah memperoleh surat penetapan sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dari Dinas Pendidikan Propinsi, apabila dinilai lalai dalam melaksanakan kewajibannya dapat dikenakan sanksi.  Berat ringannya sanksi disesuaikan dengan tingkat kelalaiannya. Jenis-jenis sanksi yang diberikan dapat berupa, teguran, peringatan tertulis, maupun dalam bentuk pembatalan surat ketetapan sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.

H.      Pemberdayaan Masyarakat

Pada hakekatnya pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah, masyarakat dan pemerintah. Oleh sebab itu para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan diharapkan mampu memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif secara optimal.

Partisipasi dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif antara lain dalam: (1)  perencanaan; (2)  penyediaan tenaga ahli/profesional terkait; (3) pengambilan keputusan; (4) pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi; (5) pendanaan; (6) pengawasan; dan (7) penyaluran lulusan.
Untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan inklusi dapat diakomodasikan melalui Wadah: (1) Komite sekolah, (2) dewan pendidikan; (3) forum-forum pemerhati pendidikan inklusif.



BAB  IV
MEKANISME PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

A.  Kriteria calon sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif
         a.   Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua)
         b.   Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah
          c.   Tersedia guru pendidikan khusus (GPK) dari PLB (guru tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari lembaga lain)
         d.   Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar
         e.   Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan
           f.   Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak
         g.   Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan  inklusif
         h.   Sekolah tersebut telah terakreditasi
           i.   Memenuhi prosedur administrasi yang ditentukan

B.   Mekanisme Penyelenggaraan
Untuk keperluan administrasi dan pembinaan, serta kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, perlu mengikuti prosedur sebagai berikut :
a. Sekolah yang akan menerima anak berkebutuhan khusus mengajukan proposal penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Sedangkan sekolah yang telah memiliki peserta didik berkebutuhan khusus melaporkan penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
b.    Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menindaklanjuti proposal/laporan dari sekolah yang bersangkutan kepada Dinas Pendidikan Provinsi.
c.    Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan Provinsi melakukan visitasi ke sekolah yang bersangkutan.

d.    Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan sekolah yang bersangkutan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif dengan menerbitkan surat penetapannya, dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan Direktorat  Pembinaan Sekolah Luar Biasa.












          Mekanisme Penetapan Sekolah Inklusif







D.  Pembinaan dan Monitoring

1.  Pembinaan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

Agar penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka perlu dilakukan pembinaan oleh yang berwenang.
Yang berwenang melakukan pembinaan adalah Dinas Pendidikan Propinsi dan atau Kabupaten/Kota sesuai dengan mekanisme masing-masing daerah. Secara teknis operasional pembinaan sekolah inklusif dilakukan oleh Pengawas Sekolah masing-masing daerah.
Pembinaan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dapat dilakukan secara berkala maupun insidental sesuai kebutuhan.

2.  Monitoring
Kegiatan monitoring dimaksudkan untuk mengawal keterlaksanaan penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Hasil monitoring dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan mutu layanan pendidikan inklusif. Materi monitoring meliputi aspek, manajemen, proses pendidikan, dan pengembangan sekolah. Kegiatan monitoring dilaksanakan secara berkala, minimal satu kali dalam satu tahun.
Monitoring dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dinas Pendidikan Daerah Tingkat I dan atau Dinas Pendidikan Daerah Tingkat II/Kota. Dalam menjalankan monitoring Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dinas Pendidikan Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota dapat bekerjasama dengan LPTK PLB yang ada.
.
3.  Pelaporan
Setiap penyelenggara pendidikan inklusif diwajibkan membuat laporan tertulis tahunan kepada atasan langsung yang tembusannya dikirimkan kepada Direktorat Pembinaan sekolah Luar Biasa.
Laporan tertulis tahunan sekurang-kurangnya memuat tentang: (a) peserta didik; (2) kurikulum yang digunakan; (3) sarana prasarana; (4) tenaga pendidik dan kependidikan; (5) proses pembelajaran; (6) hasil evaluasi, serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
Setiap sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dapat  mengembangkan format laporan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada lingkungan lembaga setempat.