BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan
Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat
disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan
khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan
bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama
dengan anak lainnya (reguler) dalam pendidikan.
Selama ini, layanan pendidiakn bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia
disediakan melalui tiga macam lemabaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa
(SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai
lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang
sama sehingga ada SLB untuk anak dengan hambatan penglihatan (Tunanetra), SLB
untuk anak dengan hambatan pendengaran (Tunarungu), SLB untuk anak dengan
hambatan berpikir/kecerdasan (Tunagrahita), SLB untuk anak dengan hambatan (fisik
dan motorik (Tunadaksa), SLB untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku
(Tunalaras), dan SLB untuk anak dengan hambatan majemuk (Tunaganda). Sedangkan
SLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pendidikan
terpadu adalah sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus,
dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang
sama. Namun selama ini baru menampung anak dengan hambatan penglihatan
(tunanetra), itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah
reguler yang keberatan menerima anak berkebutuhan khusus.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota Kabupaten, padahal anak–anak
berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (kecamatan/desa), tidak
hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian dari mereka, terutama yang
kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi
SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, sekolah
tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya.
Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di sekolah terdekat,
namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus akibatnya mereka beresiko tinggal
kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan diatas dapat berakibat pada
kegagalan program wajib belajar.
Untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu
meningkatkan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus, baik yang telah
memasuki sekolah reguler (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus
maupun yang belum mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD
terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pada penjelasan pasal 15 tentang
pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk
peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar
biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan
terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelaianan berupa
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini
diperkuat dengan peraturan pemerintah tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan
Layanan Khusus.
Pendidikan inklusif, mendidik anak berkebutuhan khusus bersama– sama anak
lainnya (reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Hal ini dilandasi
oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak reguler dan anak
berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh
karena itu, anak berkebutuhan khusus perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama
dengan anak reguler untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD)
terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu disiapkan segala
sesuatunya. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah satu
persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus selama ini.
Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang
sangat mahal dan waktu yang cukup lama.
B.A.
Tujuan Penulisan Buku
Setelah membaca buku Pedoman Umum Pendidikan Inklusif
ini, diharapkan pembaca (terutama para pembina dan pelaksana pendidikan di
lapangan) memiliki persepsi yang komprehensif terhadap penyelenggaraan
pendidikan inklusif, yang pada gilirannya dapat dipergunakan pedoman umum dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia.
BAB II
PENDIDIKAN INKLUSIF
A.
Konsep Pendidikan Inklusif
1.
Pengertian
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak
berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama
teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang
sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi
disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan
dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil
(Stainback,1980)
Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem
layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar
bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat
tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan
kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik
tanpa diskriminasi.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan
penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana parasarana pendidikan, maupun
sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik.
Untuk itu proses identifikasi dan asesmen yang akurat perlu dilakukan oleh
tenaga yang terlatih dan/atau profesional di bidangnya untuk dapat menyusun
program pendidikan yang sesuai dan obyektif.
2. Pendidikan
Segregasi, Pendidikan Terpadu dan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif hanya merupakan salah satu model penyelenggaraan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Model yang lain diantaranya adalah
sekolah segregasi dan pendidikan terpadu. Perbedaan ketiga
model tersebut dapat diringkas sebagai berikut.
a.
Sekolah segregasi
Sekolah segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus
dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini
berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis
kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak
tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E
(untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri
atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus,
maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem
pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan
kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan
evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek
perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang
terbatas.
b.
Sekolah terpadu
Sekolah terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada peserta
didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa
adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak.
Sekolah tetap menggunakan kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan
kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler untuk semua peserta didik. Jika
ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan, maka
konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang harus menyesuaikan dengan sistem
yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut
anak yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dipersyaratkan sekolah reguler.
Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak
berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan
individual anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat
bergaul di lingkungan sosial yang luas dan wajar.
c.
Sekolah inklusif
Sekolah inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada
sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua
diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi
dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik
dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Dengan
kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus
menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta
didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan
inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi
secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan
kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi
penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan
berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan
yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.
3.
Implikasi manajerial pendidikan inklusif
Sekolah umum/reguler
yang menerapkan program pendidikan inklusif akan berimplikasi secara manajerial
di sekolah tersebut. Diantaranya adalah:
a.
Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat,
ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
b.
Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen
dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual.
c.
Guru di kelas umum/reguler harus menerapkan pembelajaran
yang interaktif.
d.
Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
e.
Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif
dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses pendidikan.
4.
Pro dan kontra pendidikan inklusif
Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai salah
satu uapaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi setiap anak, namun
perkembangan pendidikan inklusif mengalami kemajuan yang berbeda-beda di setiap
negara. Sebagai inovasi baru, pro dan
kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai
negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon secara
proaktif terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya
adalah dengan cara memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan
inklusif.
a.
Pro Pendidikan Inklusif
(1)
Belum
ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik
untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
(2)
Beaya
penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah regular.
(3)
Banyak
anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah
di SLB karena jauh dan/atau biaya yang
tidak terjangkau.
(4)
SLB
(terutama yang berasrama) merupakan sekolah yang memisahkan anak dari kehidupan
sosial yang nyata. Sedangkan sekolah inklusif lebih ‘menyatukan’ anak dengan
kehidupan nyata.
(5)
Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak
berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan layanan yang sesuai.
(6)
Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi anak
‘cacat’ yang dapat menimbulkan stigma sepanjang hayat. Orangtua tidak mau ke SLB.
(7)
Melalui
pendidikan inklusif akan terjadi proses edukasi kepada masyarakat agar
menghargai adanya perbedaan.
b.
Kontra
Pendidikan Inklusif
(1)
Peraturan
perundangan memberikan kesempatan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan
khusus.
(2)
Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
(3)
Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di
sekolah reguler.
(4)
Banyak sekolah reguler yang belum siap menyelenggarakan
pendidikan inklusif karena menyangkut sumberdaya yang terbatas.
(5)
Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena diikuti
anak yang sejenis.
c.
Pendidikan Inklusif yang Moderat
Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan inklusif,
maka dapat diterapkan pendidikan inklusif yang moderat. Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud
adalah:
(1)
Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan
Inklusi penuh.
(2)
Model moderat dikenal dengan model ‘Meanstreaming’.
(3)
Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam
prakteknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus fleksibel
pindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti :
-
bentuk kelas reguler penuh
-
bentuk kelas reguler dengan cluster
-
bentuk kelas reguler dengan ’pull out’
-
bentuk kelas reguler dengan ‘cluster dan pull out’
-
bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian.
-
bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
B.
Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai
dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di
Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar
Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan
Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di
Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan
adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model
pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.
Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata
terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan
konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang
menghasilkan deklarasi ’education for
all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar
semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan
layanana pendidikan secara memadai.
Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan
konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan
inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive
education”.
Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan
inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan
menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan
inklusif.
Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005
diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi
Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan
program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak
benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.
Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka
Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program
pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan
terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an,
tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan
kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan
inklusif.
C.
Tujuan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan:
1.
Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua
anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak
sesuai dengan kebutuhannya.
2.
Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan
dasar
3.
Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah
dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
4.
Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran
5.
Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32
ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan’,
dan ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU No. 23/2002 tentang
Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat
fisik dan/atau mental diberikana kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk
memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
D.
Landasan Pendidikan Inklusif
1.
Landasan Filosofis
Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan
lambang negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka tunggal ika’. Keragaman
dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan
kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
b.
Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan
bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di
hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri (4) manusia diciptakan
berbeda-beda untuk saling silaturahmi (‘inklusif’).
c.
Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan
bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak
kesehatan, hak pekerjaan.
2.
Landasan Yuridis
a.
UUD 1945 (Amandemen) Ps. 31: (1) berbunyi ‘Setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) ’Setiaap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’.
b.
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps. 48
‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun
untuk semua anak. Ps. 49 ’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orangtua wajib
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh
pendidikan’.
c.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Ps. 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu’. Ayat (2): Warganegara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta
masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus’.
Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi’. ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya
dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia
tujuh sampai dengan lima belas tahun’. Pasal
12 ayat (1) ‘Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya
(1.b). Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan
satuan pendidikan lain yang setara (1.e). Pasal 32 ayat (1) ‘Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi
peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil,
dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi
ekonomi.’ Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa
‘Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik
yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang
diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah’. Pasal 45 ayat (1) ‘Setiap satuan
pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi
keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik,
kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik’.
d.
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Standar Nasional Pendidikan
meliputi Standar isi, Standar proses, Standar kompetensi lulusan, Standar
pendidik dan kependidikan, Standar sarana prasarana, Standar pengelolaan, Standar
pembiayaan, dan Standar penilaian pendidikan. Dalam PP No. 19/2005 tersebut
juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas: SDLB, SMPLB dan
SMALB.
e.
Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.
380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif:
menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya
4 (empat) sekolah yang terdiri dari: SD, SMP,
SMA, dan SMK.
3. Landasan Empiris
a.
Deklarasi
Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Rights),
b.
Konvensi
Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights
of the Child),
c.
Konferensi
Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990 (World
Conference on Education for All),
d.
Resolusi
PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan
(the standard rules on the equalization of opportunities for persons with
disabilities)
e.
Pernyataan
Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994 (The
Salamanca Statement on Inclusive Education),
f.
Komitmen
Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000 (The Dakar Commitment on Education
for All), dan
g.
Deklarasi
Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan
inklusif”,
h.
Rekomendasi
Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah terhadap anak
seyogyanya dipandang sebagai:
(1)
Sebuah
pendekatan terhadap peningkatankualitas sekolah secara menyeluruh yang akan
menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah
benar-benar untuk semua;
(2)
Sebuah
cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan
yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari
program-program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah, pendidikan
dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi
kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan
terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
(3)
Sebuah
kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati
perbedaan individu semua warga negara.
Disamping itu juga
menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem
pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya:
(1)
Inklusi
seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari semua
kebijakan nasional
(2)
Konsep
kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik,
maupun pencapaian akademik lainnya
(3)
Sistem
asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip
non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan
di atas
(4)
Orang
dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang
perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula
memperhatikan pandangan mereka
(5)
Semua
kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama
menuju inklusi
(6)
Demi
menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap
anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua
dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga
pemerintah dan non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local,
orang tua, anak maupun sektor swasta
(7)
Semua
pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah,
seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai
keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah
terhadap pembelajaran bagi semua anak
(8)
Pemerintah
seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik
semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus
mencakup semua anak usia sekolah
(9)
Program
pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi
guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah
hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik
tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
(10)
Pemerintah
(pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun dan memelihara
dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem
pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif
BAB III
PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN INKLUSIF
A.
Peserta
Didik
1. Sasaran
Sasaran
pendidikan inklusif secara umum adalah semua peserta didik yang ada di sekolah
reguler. Tidak hanya mereka yang sering disebut sebagai anak berkebutuhan
khusus, tetapi juga mereka yang termasuk anak ‘normal’. Mereka secara
keseluruhan harus memahami dan menerima keanekaragaman dan perbedaan
individual. Secara khusus, sasaran
pendidikan inklusif adalah anak berkebutuhan khusus, baik yang sudah terdaftar
di sekolah reguler, maupun yang belum dan berada di lingkungan sekolah reguler.
Untuk itu perlu dilakukan identifikasi secara khusus agar dapat diberikan
program yang sesuai.
2. Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
a. Identifikasi
§ Hakekat
Istilah
identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan assesment dimaknai
sebagai penyaringan. Identifikasi anak dimaksudkan sebagai suatu upaya
seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan
proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan/penyimpangan (phisik,
intelektual, social, emosional/tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan
pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak
berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui
program inklusi.
§ Tujuan
Identifikasi
anak berkebutuhan khusus dilakukan untuk lima keperluan,yaitu:
(1)
Penjaringan
(screning),
(2)
Pengalihtanganan
(referal),
(3)
Klasifikasi,
(4)
Perencanaan
pembelajaran, dan
(5)
Pemantauan
kemajuan belajar.
b. Asesmen
Pengertian
Asesmen
merupakan proses pengumpulan informasi sebelum disusun program pembelajaran
bagi siswa berkebutuhan khusus. Asesmen ini dimaksudkan untuk memahami
keunggulan dan hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang disusun
benar-benar sesuai dengan kebutuhan belajarnya.
Fungsi
Fungsi screening/penyaringan, pada tahap ini asesmen dilakukan untuk keperluan
screening/penyaringan. Screening ini dilakukan untuk mengidentifikasi siswa
yang mungkin mempunyai problem belajar.
Fungsi pengalihtanganan/referal, adalah sebagai alat
untuk pengalihtanganan kasus dari kasus pendidikan menjadi kasus kesehatan,
kejiwaan ataupun kasus sosial ekonomi. Ada bagian yang tidak mungkin ditangani
oleh guru sendiri, sehingga memerlukan keterlibatan profesional lain.
Fungsi perencanaan pembelajaran individual (PPI), dengan berbekal
data yang diperoleh dalam kegiatan asesmen, maka akan tergambar berbagai
potensi maupun hambatan yang dialami anak. Misalnya keterbelakangan mental,
gangguan motorik, persepsi, memori, komunikasi, adaptasi sosial.
Fungsi monitoring kemajuan belajar, adalah untuk memonitor
kemajuan belajar yang dicapai siswa.
Fungsi evaluasi
program, adalah untuk mengevaluasi program pembelajaran yang telah
dilaksanakan.
Sasaran
(1)
Anak berkebutuhan khusus yang sudah bersekolah di Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
(2)
Anak berkebutuhan khusus yang akan masuk ke Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
(3)
Anak berkebutuhan khusus yang belum/tidak bersekolah
(4)
Anak berkebutuhan khusus yang akan mengikuti program
pendidikan non formal atau informal.
B.
Kurikulum
1.
Jenis Kurikulum
Kurikulum yang
digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan
kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam
hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi,
mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam
implementasinya, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan)
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Modifikasi
(penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah.
Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru
mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang
terkait.
2.
Tujuan
Pengembangan Kurikulum
a.
Membantu peserta didik
dalam mengembangkan potensi dan mengatasi hambatan belajar yang dialami siswa
semaksimal mungkin dalam setting inklusi.
b.
Membantu guru dan orangtua dalam mengembangkan program
pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik yang diselenggarakan di
sekolah, di luar sekolah maupun di rumah.
c.
Menjadi pedoman bagi sekolah, dan masyarakat dalam
mengembangkan, menilai dan menyempurnakan program pendidikan inklusif.
3. Model
Pengembangan Kurikulum
a. Model
kurikulum reguler
Pada model
kurikulum ini peserta didik yang berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum
reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama. Program
layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi
dan ketekunan belajarnya.
b. Model
kurikulum reguler dengan modifikasi
Pada model
kurikulum ini guru melakukan modifikasi pada strategi pembelajaran, jenis
penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada
kebutuhan siswa (anak berkebutuhan khusus). Di dalam model ini bisa terdapat
siswa berkebutuhan khusus yang memiliki program pembelajaran berdasarkan
kurikulum reguler dan program pembelajaran individual (PPI). Misal seorang
siswa berkebutuhan khusus yang mengikuti 3 mata pelajaran berdasarkan kurikulum
reguler sedangkan mata pelajaran lainnya berdasarkan PPI.
c. Model
kurikulum PPI
Pada model
kurikulum ini guru mempersiapkan program pendidikan individual (PPI) yang
dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan
khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.
Model ini
diperuntukan pada siswa yang mempunyai hambatan belajar yang tidak memungkinkan
untuk mengikuti proses belajar berdasarkan kurikulum reguler. Siswa
berkebutuhan khusus seperti ini dapat dikembangkan potensi belajarnya dengan
menggunakan PPI dalam setiing kelas reguler, sehingga mereka bisa mengikuti
proses belajar sesuai dengan fase perkembangan dan kebutuhannya.
Penjelasan dan
model PPI secara lebih lengkap dapat
dilihat pada Buku Pedoman Pengembangan PPI.
C. Tenaga Pendidik
1. Pengertian
Tenaga
pendidik adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, meninlai, dan mengevaluasi peserta
didik pada satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan program pendidikan
inklusif. Tenaga pendidik meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan
Agama serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan guru pendidikan khusus (GPK).
2. Tugas
a. Tugas Guru Kelas antara lain sebagai berikut:
(1)
Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga
anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
(2)
Menyusun dan
melaksanakan asesmen pada semua anak untuk mengetahui kemampuan dan
kebutuhannya
(3)
Menyusun program
pembelajaran individual (PPI) bersama-sama dengan guru pendidikan khusus (GPK).
(4)
Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan mengadakan penilaian untuk semua mata
pelajaran (kecuali Pendidikan Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan ) yang
menjadi tanggung jawabnya.
(5)
Memberikan program remedi pengajaran (remedial teaching), pengayaan/percepatan
bagi peserta didik yang membutuhkan.
(6)
Melaksanakan administrasi kelas sesuai dengan bidang tugasnya.
b. Tugas guru mata pelajaran antara
lain sebagai berikut:
(1)
Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga
anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
(2)
Menyusun dan
melaksanakan asesmen pada semua anak untuk mengetahui kemampuan dan
kebutuhannya
(3)
Menyusun program
pembelajaran individual (PPI) bersama-sama dengan guru pembimbing khusus (GPK).
(4)
Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan mengadakan penilaian kegiatan belajar
mengajar untuk mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.
(5)
Memberikan
program Perbaikan (remedial teaching),
pengayaan/percepatan bagi peserta didik
yang membutuhkan.
c. Tugas Guru Pendidikan Khusus antara lain sebagai berikut
(1) Menyusun
instrumen asesmen pendidikan bersama-sama dengan guru kelas dan guru mata
pelajaran
(2)
Membangun system koordinasi antara guru, pihak sekolah
dan orang tua peserta didik.
(3)
Melaksanakan pendampingan anak berkebutuhan khusus pada
kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan guru kelas/guru mata pelajaran/guru
bidang studi.
(4)
Memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak
berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran di kelas umum, berupa remidi ataupun pengayaan.
(5)
Memberikan bimbingan secara berkesinambungan dan membuat
catatan khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus selama mengikuti kegiatan
pembelajaran, yang dapat dipahami jika terjadi pergantian guru.
(6)
Memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru kelas
dan/atau guru mata pelajaran agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan
kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
3. Kedudukan
Guru
berkedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar,
pendidikan menengah, pendidikan pada usia dini pada jalur pendidikan formal
yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Kedudukan untuk masing-masing guru
secara rinci meliputi:
a.
Guru
Kelas berkedudukan di sekolah dasar yang di tetapkan berdasarkan kualifikasi
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh sekolah.
b.
Guru
mata pelajaran/bidang studi adalah guru yang mengajar mata pelajaran tertetu
sesuai kualifikasi yang dipersyaratkan di sekolah.
c.
Guru
Pendidikan Khusus berkedudukan sebagai guru pendamping khusus. Secara
administrasi status kepegawaian, ada beberapa alternatif yang memungkinkan.
D. Kegiatan Pembelajaran
- Perencanaan
Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan pembelajaran pada kelas
inklusif antara lain seperti di bawah ini.
a. Merencanakan pengelolaan
kelas
b. Merencanakan
pengorganisasian bahan
c. Merencanakan
strategi pendekatan kegiatan belajar mengajar
d. Merencanakan
prosedur kegiatan belajar mengajar
e. Merencanakan
penggunaan sumber dan media belajar
f. Merencanakan penilaian
- Pelaksanaan
a.
Melaksanakan
apersepsi
b.
Menyajikan
materi/bahan pelajaran
c.
Mengimplementasikan
metode, sumber/media belajar, dan bahan latihan yang sesuai dengan kemampuan
awal dan karakteristik siswa, serta sesuai dengan tujuan pembelajaran
d.
Mendorong
siswa untuk terlibat secara aktif
e.
Mendemontrasikan
penguasaan materi pelajaran dan relevansinya dalam kehidupan
f.
Membina
hubungan antar pribadi, antara lain: (1) Bersikap terbuka, toleran, dan simpati
terhadap siswa; (2) Menampilkan kegairahan dan kesungguhan; (3) Mengelola
interaksi antar pribadi.
2.
Prinsip-Prinsip Pembelajaran
a. Prinsip motivasi
Guru harus
senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan
semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.
b. Prinsip latar/konteks
Guru perlu
mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di
lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan
materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.
c.
Prinsip keterarahan
Setiap akan
melakukan kegiatan pembalajaran, guru harus merumuskan
tujuan secara jelas, menyiapkan bahan
dan alat yang sesuai, serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat
d.
Prinsip
hubungan sosial
Dalam
kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang
mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa,
guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
e. Prinsip belajar sambil bekerja
Dalam
kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk
melakukan praktek atau percobaan, atau menemukan sesuatu melalui pengamatan,
penelitian, dan sebagainya.
f. Prinsip individulisasi
Guru
perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam,
baik dari seagi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi
pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya,
sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan
perlakuan yang sesuai.
g. Prinsip menemukan
Guru
perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk
terlibat seacara aktif, baik fisik, mental, sosial, dan atau emosional.
h. Prinsip pemecahan masalah
Guru hendaknya
sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar,
dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan
memecahkannya seasuai dengan kemampuannnya.
E. Penilaian
dan Sertifikasi
1.
Penilaian
Penilaian dalam setting inklusif ini mengacu pada model
pengembangan kurikulum yang dipergunakan, yaitu:
a.
Apabila menggunakan model kurikulum reguler penuh, maka penilaiannya menggunakan
sistem penilaian yang berlaku pada sekolah reguler.
b.
Jika menggunakan model kurikulum reguler dengan
modifikasi, maka penilaiannya menggunakan sistem penilaian reguler yang telah
dimodifikasi sekolah disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan
siswa.
c.
Apabila menggunakan kurikulum PPI, maka penilaiannya
bersifat individu dan didasarkan pada kemampuan dasar (base line).
2.
Sistem Kenaikan Kelas dan Laporan Hasil Belajar
a. Sistem Kenaikan kelas
(1)
Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler
penuh, sistem kenaikan kelasnya menggunakan acuan yang berlaku pada sekolah
reguler penuh yang sedang berlaku.
(2)
Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler yang
dimodifikasi, maka sistem kenaikan kelasnya dapat menggunakan alternatif
berikut: (1) menggunakan model kenaikan kelas yang didasarkan pada usia
kronologis; (2) menggunakan sistem kenaikan kelas reguler.
(3)
Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum PPI, sistem
kenaikannya didasarkan pada usia kronologis.
b. Sistem Laporan Hasil Belajar
(1)
Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler penuh, maka
model laporan hasil belajarnya (raport) menggunakan model raport reguler yang
sedang berlaku.
(2)
Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler yang
dimodifikasi, model raport yang dipergunakan adalah raport reguler yang
dilengkapi dengan diskripsi (narasi) yang menggambarkan kualitas kemajuan
belajarnya.
(3)
Bagi siswa yang menggunakan kurikulum PPI, maka
menggunakan model raport kuantitatif yang dilengkapi dengan diskripsi (narasi).
Penentuan nilai kuantitatif didasarkan pada kemampuan dasar (base line anak).
3.
Sertifikasi
F.
Sarana dan Prasarana Pendidikan
Sarana
dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun perangkat lunak
yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif
pada satuan pendidikan tertentu.
Pada hakekatnya
semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan tertentu itu dapat
dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, tetapi untuk
mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi asesibilitas bagi
kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan khusus, serta media pembelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
- Konsep Manajemen
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan
istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan
berbeda. Pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen
(manajemen merupakan inti dari administrasi) kedua melihat manajemen lebih luas
daripada administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen) dan ketiga
yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam buku ini, istilah
manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu
segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun
material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan
pendidikan di sekolah secara optimal.
- Fungsi
Fungsi
manajemen pendidikan inklusif meliputi:
a.
Perencanaan
(Planning)
b.
Pengorganisasian
(organizing)
c.
Pengarahan
(directing)
d.
Pengkoordinasian
(coordinating)
e.
Pengawasan
(controlling), dan
f.
Penilaian
(evaluation)
3. Ruang Lingkup
Manajemen
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, memberikan kewenangan penuh kepada
pihak sekolah untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan,
mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi komponen-komponen pendidikan inklusif
yang bersangkutan.
Komponen-
komponen tersebut meliputi:
a.
Manajemen
kesiswaan
b.
Manajemen kurikulum
c.
Manajemen
pembelajaran
d.
Manajemen
penilaian
e.
Manajemen
ketenagaan
f.
Manajemen
sarana-prasarana
g.
Manajemen
pembiayaan
h.
Manajemen
sumberdaya lingkungan
4. Penghargaan dan sanksi
a. Penghargaan
Kepada
satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang berprestasi dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif diberikan penghargaan. Penghargaan
dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan mutu layanan pendidikan. Penghargaan
dapat berupa simbul, seperti sertifikat, piagam, dan dapat pula dalam bentuk
lain, seperti promosi, dana pembinaan, pelatihan, maupun dalam bentuk lain yang
relevan.
b. Sanksi
Kepada
satuan pendidikan tertentu yang telah memperoleh surat penetapan sebagai
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dari Dinas Pendidikan Propinsi,
apabila dinilai lalai dalam melaksanakan kewajibannya dapat dikenakan
sanksi. Berat ringannya sanksi
disesuaikan dengan tingkat kelalaiannya. Jenis-jenis sanksi yang diberikan
dapat berupa, teguran, peringatan tertulis, maupun dalam bentuk pembatalan
surat ketetapan sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
H. Pemberdayaan Masyarakat
Pada hakekatnya pendidikan itu menjadi tanggung jawab
bersama antara sekolah, masyarakat dan pemerintah. Oleh sebab itu para pembina
dan pelaksana pendidikan di lapangan diharapkan mampu memberdayakan masyarakat
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif secara optimal.
Partisipasi dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif
antara lain dalam: (1) perencanaan; (2)
penyediaan tenaga ahli/profesional terkait; (3) pengambilan keputusan;
(4) pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi; (5) pendanaan; (6) pengawasan; dan
(7) penyaluran lulusan.
Untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan inklusi dapat diakomodasikan melalui Wadah: (1) Komite sekolah,
(2) dewan pendidikan; (3) forum-forum pemerhati pendidikan inklusif.
BAB IV
MEKANISME PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
INKLUSIF
A. Kriteria calon sekolah penyelenggara
pendidikan Inklusif
a. Kesiapan sekolah
untuk menyelenggarakan program pendidikan inklusif (kepala sekolah, komite
sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua)
b. Terdapat anak
berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah
c. Tersedia guru pendidikan
khusus (GPK) dari PLB (guru tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari
lembaga lain)
d. Komitmen terhadap
penuntasan wajib belajar
e. Memiliki jaringan
kerjasama dengan lembaga lain yang relevan
f. Tersedia sarana
penunjang yang mudah diakses oleh semua anak
g. Pihak sekolah
telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan
inklusif
h. Sekolah tersebut
telah terakreditasi
i. Memenuhi prosedur
administrasi yang ditentukan
B. Mekanisme Penyelenggaraan
Untuk
keperluan administrasi dan pembinaan, serta kelancaran dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif, perlu mengikuti prosedur sebagai berikut :
a. Sekolah yang akan menerima anak berkebutuhan khusus
mengajukan proposal penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota. Sedangkan sekolah yang telah memiliki peserta didik
berkebutuhan khusus melaporkan penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota.
b.
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menindaklanjuti proposal/laporan
dari sekolah yang bersangkutan kepada Dinas Pendidikan Provinsi.
c.
Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas Pendidikan
Provinsi melakukan visitasi ke sekolah yang bersangkutan.
d.
Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan sekolah yang bersangkutan
sebagai penyelenggara pendidikan inklusif dengan menerbitkan surat
penetapannya, dengan tembusan kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.
Mekanisme Penetapan Sekolah Inklusif
D. Pembinaan dan Monitoring
1. Pembinaan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
Agar
penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat berjalan dengan baik sesuai dengan
tujuan yang diharapkan, maka perlu dilakukan pembinaan oleh yang berwenang.
Yang
berwenang melakukan pembinaan adalah Dinas Pendidikan Propinsi dan atau Kabupaten/Kota
sesuai dengan mekanisme masing-masing daerah. Secara teknis operasional
pembinaan sekolah inklusif dilakukan oleh Pengawas Sekolah masing-masing
daerah.
Pembinaan
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dapat dilakukan secara berkala maupun
insidental sesuai kebutuhan.
2. Monitoring
Kegiatan
monitoring dimaksudkan untuk mengawal keterlaksanaan penyelenggaraan program
pendidikan inklusif. Hasil monitoring dipergunakan sebagai bahan pertimbangan
dalam peningkatan mutu layanan pendidikan inklusif. Materi monitoring meliputi
aspek, manajemen, proses pendidikan, dan pengembangan sekolah. Kegiatan
monitoring dilaksanakan secara berkala, minimal satu kali dalam satu tahun.
Monitoring
dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dinas Pendidikan
Daerah Tingkat I dan atau Dinas Pendidikan Daerah Tingkat II/Kota. Dalam
menjalankan monitoring Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dinas
Pendidikan Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota dapat bekerjasama dengan LPTK PLB
yang ada.
.
3. Pelaporan
Setiap
penyelenggara pendidikan inklusif diwajibkan membuat laporan tertulis tahunan kepada
atasan langsung yang tembusannya dikirimkan kepada Direktorat Pembinaan sekolah
Luar Biasa.
Laporan
tertulis tahunan sekurang-kurangnya memuat tentang: (a) peserta didik; (2)
kurikulum yang digunakan; (3) sarana prasarana; (4) tenaga pendidik dan
kependidikan; (5) proses pembelajaran; (6) hasil evaluasi, serta
permasalahan-permasalahan yang dihadapi.
Setiap
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dapat mengembangkan format laporan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku pada lingkungan lembaga setempat.